Sabtu, 19 Februari 2011

Bahagia Saat Pensiun

Ada enaknya menjadi pengusaha, bisa mandiri di atas kantong sendiri. Semua fleksibel, mulai mengatur pengeluaran dan target pemasukan yang ingin diraih. Tidak hanya itu, masa pensiun juga bisa disesuaikan dengan keinginan. Tengok saja Reddy Hartadji, Dirut PT Cawang Housing Development, pengembang beberapa apartemen bersubsidi di Jakarta. Eksekutif yang masuk usia kepala empat ini, berencana 'menggantung raketnya' pada usia 60 tahun.

Dia tidak mau masa pensiunnya kelam. Maka, selagi kuat bekerja dia pupuk sebanyak mungkin pundi-pundi emasnya. Bayangannya, pensiun adalah masa istirahat dan bersenang senang.

"Pensiun ya jalan-jalan, keliling dunia. Saya mau lihat banyak hal sambil bersantai, mungkin ke Taj Mahal nanti."

Itu Reddy. Bagaimana Anda yang terikat ke dalam suatu perusahaan. Apakah bisa mematok masa pensiun yang dinginkan dan sudah cukupkah persiapan finansial yang dimiliki.

Berdasarkan hasil penelitian yang digelar International Association of Registered Financial Consultants (IAFRC) pada 2003 menunjukkan hal yang bisa jadi mengejutkan. Research tersebut menyebutkan bahwa para eksekutif di kota besar memiliki kecenderungan terancam bangkrut pada usia 60-an. Sungguh ironis, dimana kebanyakan orang melihat sosok eksekutif yang bakal hidup tenang berkecukupan pada hari tua, bisa terancam bangkrut pada masa pensiun.

Saya yang sehari-hari berperan sebagai perencana keuangan memiliki 20% klien pensiunan. Kebanyakan mereka merupakan mantan eksekutif di perusahaan multinasional di berbagai bidang.

Namun, gelimang harta yang dinikmati para eksekutif berakhir pada masa pensiun. Banyak dari mereka yang bingung bagaimana menutup keuangan pada tahun -tahun berikutnya.

Para eksekutif yang mendapatkan dana pensiun yang cukup besar di awal masa pensiun tadi kebanyakan tidak dapat mengelola uangnya dengan maksimal. Imbasnya, masa selanjutnya mereka harus gigit jari mencari dana segar menutup kebutuhan yang masih tersisa.

Ibarat bermain kartu, di tangan ada kartu As, Raja, Ratu, dan Jack. Para eksekutif pensiunan kliennya tadi cenderung mengeluarkan kartu As di depan.

"Misalnya mereka mendapatkan uang pensiun Rp500 juta, tapi langsung dihabiskan setengahnya untuk menikahkan anak. Sisanya, dipakai jalan-jalan."

Hal tersebut harus dibenahi. Ada dua perkara besar yang harus diperbaiki.Yang pertama tentunya aspek keuangan, yang kedua yakni aspek psikologis. Aspek yang paling penting yang harus diobati adalah aspek psikologis.

Skala prioritas
Penting bagi para pensiunan mengetahui esensi dari pensiun itu sendiri. Apakah nanti grafik kehidupannya akan meningkat atau menurun saat pensiun, harus direnungkan dengan cermat.

Psikologis lagi-lagi memegang peran penting. Pensiunan hendaknya arif membuat skala prioritas, apa saja kebutuhan yang harus didahulukan daripada tetek bengek yang tidak terlalu penting.

"Menikahkan anak itu wajib, tapi apa meresepsikan anak dengan jor-joran itu wajib?"

Psikologis keluarga juga harus dijaga. Masalahnya, apakah keluarga istri, anak dan menantu sudah siap apabila sang eksekutif yang merangkap kepala keluarga dan pemberi nafkah akan pensiun.

Cari cara terbaik mengomunikasikan kepada keluarga bahwa masa pensiun dan sebelum pensiun akan berbeda dari segi keuangan. Kasarnya, pendapatan dan fasilitas kantor akan hilang tetapi toh pengeluaran tidak akan bisa disetop.

Seseorang yang ingin memasuki masa pensiun sebaiknya membuat skala prioritas bukan dari segi keinginan dan obsesi terpendam saja seperti menikahkan anak, naik haji, dan jalan-jalan keliling dunia.

Penting untuk menyisihkan biaya persiapan saat sakit mendera. Pasalnya, kita tidak pernah tahu apa rencana Yang Maha Kuasa, bisa jadi saat ini sehat, besok diuji dengan sakit.

Pikirkan juga apakah gaya hidup eksekutif yang mungkin biasa dijalani dengan kemewahan bisa ditutupi dengan uang sisa dana pensiun yang diberikan perusahaan. Biasanya ada siklus lima tahunan yang harus dipikirkan matang oleh para pensiunan.

Misalnya, seorang eksekutif pensiun pada usia 55 tahun, di siklus pertama 55-60 tahun harus memikirkan membiayai dengan cara apa siklus-siklus selanjutnya. Sesuaikan dengan inflasi dan komponen terkait yang memicu besaran pengeluaran per bulan.

Di siklus lima-tahunan pertama, misalnya, biaya hidup cukup dengan hanya Rp10 juta per bulan. Lima tahun berikutnya, kalkulasi biaya hidup tidak bisa hanya Rp10 juta, tetapi harus dinaikan menjadi Rp15 juta, seperti itu seterusnya.

Maka, pada awal masa pensiun harus bisa dipikirkan menutup biaya bulanan di siklus lima tahunan selanjutnya. Selagi ada waktu, pilihlah jenis investasi yang bisa menanggung biaya hidup dan gaya hidup pada masa pensiun, macam-macam jenisnya tergantung profil risiko Anda.

"Pensiun jangan dipandang sebagai masa akhir kerja, tapi sama dengan menikah yakni awal hidup baru. Pada masa ini psikologi keuangan memainkan peran penting."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar